Berikut adalah beberapa cara yang dapat dijadikan pedoman untuk mencetak anak jenius seperti dikutip dari thedailybeast.com, Kamis (27/10/2011):
1. Jauhi Anak dari Kebiasaan Nonton TV
Tiga puluh persen anak-anak di bawah usia 2 memiliki televisi di kamar tidurnya. Dan 59 persen anak-anak berusia di bawah 2 tahun menonton TV dua jam sehari.
The American Academy of Pediatrics baru-baru ini mengeluarkan peringatan yang mendesak orangtua agar tidak membiarkan bayi dan balita menonton TV. Manfaat menonton TV bagi bayi tidak diketahui, namun TV diketahui merusak keterampilan mental dan menyia-nyiakan waktu untuk perkembangan otak yang seharusnya dihabiskan dengan cara berbicara dengan orang lain.
"Bahasa penting untuk pembelajaran anak-anak, dan bahasa yang didapatkan dari televisi tidak disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. TV tidak akan menjawab pertanyaan atau mengikuti keinginan anak-anak, yang mana hal inilah yang membuat anak pintar," kata Roberta Golinkoff, pakar bahasa bayi dan rekan penulis buku 'Einstein Never Used Flashcards: How Our Children Really Learn and Why They Need to Play More and Memorize Less'.
2. Beri anak Air Susu Ibu (ASI)
Anak berusia enam tahun yang diberi ASI terus menerus ketika bayi, skor tes IQ-nya 5 persen lebih tinggi daripada anak 6 tahun yang tidak mendapat ASI.
Kesimpulan ini didasarkan pada penelitian yang diikuti oleh dua kelompok ibu di Belarusia baru dan anak-anaknya. Salah satu kelompok ibu-ibu memberi ASI eksklusif pada bayinya, artinya tidak memberi bayi makanan lain kecuali ASI sampai satu tahun. Sedangkan kelompok lain tidak hanya memberi ASI saja dan jangka waktu pemberian ASI lebih pendek.
Hasilnya, anak-anak dalam kelompok pertama mencetak skor lebih tinggi dalam bidang membaca, menulis dan matematika.
"Hal pertama yang dapat dilakukan seorang Ibu untuk membesarkan anak cerdas adalah dengan cara menyusui. Manusia memiliki persentase lemak lebih besar dibandingkan dengan susu sapi yang dibutuhkan untuk melindungi sel-sel otak," kata ahli genetika Ricki Lewis, penulis buku 'The Forever Fix: Gene Therapy and the Boy Who Saved It'.
3. Belajar musik
Anak-anak yang memainkan piano atau alat musik gesek mendapat skor keterampilan verbal 15 persen lebih tinggi daripada anak yang tidak memainkan alat musik.
Penelitian yang menghasilkan pernyataan ini melibatkan siswa dari area musik Boston dan sekolah umum. Usia rata-rata siswa adalah 10 tahun dan beberapa di antaranya pernah belajar musik setidaknya selama tiga tahun. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan banyaknya korelasi antara musik, keterampilan bahasa dan skor IQ.
Pertanyaan adalah apakah anak-anak yang pintar pandai bermain musik, atau apakah musik yang membuat anak menjadi pintar? "Gagasan bahwa gen mengendalikan nasib disebut determinisme genetik. Kami menentang ide ini sepanjang waktu," kata Lewis.
4. Belajar Mengendalikan diri atau sabar
Anak-anak yang mampu menunda kepuasan 15 kali lebih lama daripada teman-temannya dan lebih sabar mendapat skor 210 poin lebih tinggi pada SAT (Scholastic Assessment Test).
Tes Penalaran SAT adalah tes standar untuk penerimaan perguruan tinggi di Amerika Serikat. Dalam suatu penelitian, anak-anak diberitahu bahwa mereka bisa makan dua kue jika mereka mau menunda makan kue yang pertama. Mereka yang bisa menunggu 15 menit sebelum makan kue pertama mencetak 210 poin lebih tinggi pada tes SAT nya daripada yang tidak bisa menunggu lebih dari satu menit.
"Pengendalian dorongan adalah faktor penting dalam fungsi eksekutif. Ilmuwan sekarang tahu bahwa menjadi jenius tidak banyak berkaitan dengan IQ, tapi berkaitan dengan fungsi eksekutif. Kemampuan untuk beralih tugas, mengingat, dan menghambat dorongan jauh lebih berkaitan dengan kesuksesan daripada IQ," tegas Golinkoff.
5. Penuhi rumah dengan buku
Anak yang dibesarkan di sebuah rumah berisi setidaknya 500 buku memiliki kemungkinan lulus SMA 36 persen lebih tinggi dan 19 persen lebih mungkin lulus dari perguruan tinggi daripada anak yang dibesarkan di rumah yang hanya berisi beberapa atau bahkan tidak menyimpan buku.
Penelitian ini dipublikasikan pada 2007, ketika buku masih menjadi benda yang nyata, bukan berbentuk file seperti sekarang. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa kesenjangan melebar secara berlipat pada orangtua anak-anak yang buta huruf.
"Keberhasilan di sekolah bergantung tidak hanya pada kecerdasan bawaan, tapi juga membutuhkan etika yang baik. Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang kita lakukan daripada apa yang kita katakan. Orangtua yang suka membaca menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa membaca adalah kegiatan yang menarik, menyenangkan, dan bermanfaat," kata psikolog Eileen Kennedy-Moore, penulis 'Smart Parenting for Smart Kids'.
6. Hindari kegemukan pada anak
Anak gemuk mendapat skor 11 persen lebih rendah pada tes membaca daripada anak dengan berat badan normal.
Ilmuwan di Temple University yang menyimpulkan pernyataan tersebut juga menemukan bahwa siswa sekolah menengah yang mengalami kelebihan berat badan memiliki prestasi lebih rendah daripada teman-teman sebayanya yang memiliki berat badan normal, serta lebih seriang tidak masuk dan terlambat datang sekolah. Penelitian ini menghubungkan massa tubuh yang lebih besar dengan prestasi sekolah yang lebih rendah.
"Memiliki kebiasaan hanya duduk dan menonton TV atau bermain game sangat merugikan untuk anak-anak. Mereka tidak berinteraksi dan banyak hal yang membuat kita pintar adalah hal yang hanya dipelajari dalam hubungan interaksi sosial," kata Golinkoff.
7. Latihan aerobik meningkatkan kemampuan eksekutif anak-anak sebanyak 100 persen.
"Hasil terbaik diperoleh jika melakukan latihan dengan anak-anak. Mendorong gaya hidup aktif adalah salah satu hadiah terbaik yang dapat diberikan orang tua kepada anak-anak," kata ahli biologi molekuler, John Medina dalam bukunya yang berjudul 'Brain Rules for Baby'.
8. Ikut program prasekolah
Anak yang mengikuti program prasekolah 52 persen lebih mungkin lulus SMA daripada yang tidak mengikuti program prasekolah.
Penelitian yang menghasilkan pernyataan ini diikuti dua kelompok anak-anak yang kurang beruntung dari Michigan dari balita hingga berusia 40 tahun. Satu kelompok mengikuti program prasekolah 'berkualitas tinggi' untuk anak usia 3 dan 4 tyahun, sedangkan kelompok lainnya tidak pernah mengikuti program prasekolah.
Pada usia 27 tahun, kelompok prasekolah lima kali lebih banyak yang memiliki rumah sendiri daripada kelompok non-prasekolah. Pada usia 40, kelompok non-prasekolah ditangkap atas tuduhan narkoba delapan kali lebih banyak dibandingkan alumni prasekolah, dan dua kali lebih sering melakukan serangan fisik.
9. Usia Ayah jangan terlalu tua saat memiliki anak
Anak-anak yang dilahirkan ketika ayah berumur 20 tahun mendapat skor tes IQ 3 sampai 6 poin lebih tinggi daripada anak yang lahir dari ayah yang berusia dua kali lipat.
Bertambahtuanya usia ayah berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan perkembangan saraf seperti autisme dan skizofrenia, serta disleksia dan berkurangnya kecerdasan. Keturunan dari ayah yang lebih tua mengalami kerusakan yang halus pada tes kemampuan neurokognitif.
"Kecenderungan modern untuk menunda memiliki anak mungkin berdampak memprihatinkan," kata para peneliti seperti dikutip dari jurnal PLoS Medicine dalam artikel yang berjudul 'Advanced Paternal Age Is Associated With Impaired Neurocognitive Outcomes During Infancy and Childhood' oleh S. Saha, dkk.
10. Belajar juggling atau permainan ketangkasan seperti melempar 3 bola bergantian
Belajar juggling dapat meningkatkan volume materi abu-abu di otak anak-anak sebanyak 3 persen.
"Struktur otak sangat ditentukan oleh gen, tetapi tidak sepenuhnya. Belajar keterampilan seperti juggling yang mendorong kemampuan persepsi dan motorik dapat meningkatkan 3 persen volume materi abu-abu di daerah visual," kata peneliti Jeremy Gray dan Paul Thompson dari Universitas Yale dalam jurnal Nature Reviews Neuroscience.
Volume materi abu-abu di otak berhubungan dengan kemampuan mental secara umum.
11. Perbanyak anak mendengar kosakata baru
Anak-anak dalam keluarga penerima bantuan sosial mendengar kata-kata hampir empat kali lebih sedikit per tahunnya daripada anak-anak dari keluarga kelas profesional.
Para peneliti mengungkapkan bahwa semakin banyak kata-kata yang didengar, semakin besar kosakata dan semakin tinggi prestasi akademik. Peneliti juga mengungkapkan bahwa anak-anak dalam keluarga penerima bantuan sosial mendengar sekitar 3 juta kata per tahun, sementara anak-anak dalam keluarga kelas pekerja mendengar 6 juta kata dan anak-anak di keluarga kelas profesional mendengar 11 juta kata per tahun.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Todd R. Risley and Betty Hart dalam bukunya 'Meaningful Differences in the Everyday Experience of Young American Children', anak-anak penerima dana bantuan sosial hanya mengetahui 500 kata pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 750 kata dan 1.100 kata pada kelompok lain.
12. Belajar bahasa asing
Anak-anak yang mempelajari bahasa asing selama dua tahun mendapat skor SAT 14 persen lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak pernah mempelajari bahasa asing.
Belajar bahasa asing selama satu tahun berkaitan dengan skor SAT yang sedikit lebih tinggi, tetapi belajar bahasa asing selama dua tahun menghasilkan kenaikan skor SAT sebanyak 14 dan 13 persen pada bagian tes verbal dan matematika dibandingkan siswa yang belum pernah mempelajari bahasa asing. Setiap penambahan satu tahun belajar bahasa asing menghasilkan kenaikan skor lebih banyak.
"Nilai verbal siswa yang mempelajari bahasa asing selama empat atau lima tahun lebih tinggi daripada skor verbal siswa yang mempelajari pelajaran lain selama empat atau lima tahun," tulis para Thomas C. Cooper pada artikelnya yang berjudul 'Foreign-Language Study and SAT-Verbal Scores' dalam Modern Language Journal.
13. Batasi permainan game komputer atau video game
Siswa yang menghabiskan lebih dari dua jam sehari bermain komputer dan video game mendapat skor ujian sekolah 9,4 persen lebih rendah daripada siswa yang tidak lagi memainkan game semacam itu.
Efek elektronik permainan terhadap prestasi memicu perdebatan akademis yang intens. Sebuah kajian yang dilakukan pada siswa di Inggris membandingkan hasil tes para gamer dengan bukan gamer.
"Tidak ada satu korelasi positif signifikan yang ditemukan antara frekuensi game dan kinerja akademik. Bermain videogame berlebihan dapat mengganggu sekolah seperti halnya kegiatan lain yang dilakukan berlebihan semisal membaca untuk kesenangan, bermain di luar, tidur, atau berinteraksi langsung dengan teman dan keluarga," tulis peneliti Barry Ip, dkk lewat artikel berjudul 'Gaming Frequency and Academic Performance' yang dimuat dalam Australasian Journal of Educational Technology.
14. Hindari paparan pestisida saat hamil
Anak-anak dari ibu yang terkena pestisida saat hamil memiliki nilai IQ 1,4 persen lebih rendah daripada anak-anak yang ibunya tidak terkena pestisida.
Ilmuwan dari Universitas Columbia mempelajari anak berusia 7 tahun dan ibunya. Para imuwan menemukan hubungan langsung antara paparan pestisida pertanian sebelum kelehiran dengan IQ yang rendah.
Dampak negatif dari paparan pestisida bahkan lebih besar pada kerja ingatan, salah satu elemen dari keterampilan penting yang disebut 'fungsi eksekutif'. Paparan kimia berupa komponen tak terlihat di udara yang dihirup dapat menurunkan kecerdasan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar