Sebagian agama mengatakan bahwa kebenaran mutlak itu milik tuhan, itu benar tetapi mereka mempunyai bayangan dan pemahaman tentang tuhan mereka yang berbeda artinya itu menjadi tidak benar. Diatas langit ada langit dan dimana batas langit ? tidak ada, diatas kebenaran itu ada kebenaran dan dimana batas kebenaran itu ? tidak ada.
Manusia tidak bisa mencari kebenaran itu sebatas memakai otak atau akal, itu akan menyesatkan manusia dan orang lain, faktor rohani atau pemahaman kepada hal goib yang tidak kelihatan mutlak juga harus dikuasai dan dipahami, mengapa ? dalam hidup ini tidak bisa dibantah ada faktor tersebut
Orang-orang yang bisa melintas di alam semesta dan memasuki areal dunia dan galaksi yang lain yang memungkinkan mereka mengetahui lebih baik tentang kebenaran. Hanya orang-orang yang paling mengenal siapa tuhan itu yang bisa berbicara tentang kebenaran, bukan ahli ibadah bukan ulama dan bukan seorang motivator. Mereka itu yang disebut dengan ahli kebenaran atau orang soleh atau bijak atau alim. Simak bagaimana para ahli berpendapat yang pendapatnya menurut saya membingungkan dan dangkal !
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).
Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar